Tulisan ini adalah jawaban Saya terhadap pertanyaan dari sebuah buku berjudul "Baca Buku Ini Saat Engkau Merasa Lelah".
"Eh tau gak, kemarin liburan kan aku sama keluarga ke kebun binatang. Parah banget, adek dan ayah aku kena pup nya kuda nil!". Teman saya menceritakan kejadian itu sambil tertawa-tawa, saya pun juga ikut tertawa namun ada perasaan iri yang menyelip. Saya iri karena dia sangat dekat dengan keluarganya. Keluarga saya memang tidak pecah, tidak pula ada kekerasan namun keluarga saya sangat kurang sekali dalam hal berkomunikasi. Saya dari kecil tidak terbiasa untuk mengungkapkan perasaan maupun bercerita kepada Ibu maupun bapak saya. Oh tidak, pernah suatu waktu saya bercerita betapa senangnya saya mendapatkan kawan sewaktu TK kepada Ibu saya namun responnya biasa saja. Saya tipikal anak yang pemalu sehingga susah untuk mendapat teman. Sewaktu kecil, saya sering kali dititipkan kepada pengasuh maupun bibi saya karena Ibu harus bekerja di kota lain. Bapak saya juga kurang mengerti bagaimana merawat anak waktu itu, karena saya anak pertama. Saya merasa tidak puas dengan hubungan saya dan keluarga saya. Sama sekali tidak puas.
0 Comments
Jika membicarakan drama Korea Selatan, yang terbersit di kepala adalah kisah cinta yang romantis. Namun, apakah kisah romantis mereka berakhir ke pelaminan seperti kisah cinta di Indonesia? Bulan Juli kemarin, media mulai menyoroti fenomena #NoMarriage yang terjadi di Korea Selatan. Fenomena ini berawal dari keengganan perempuan Korea Selatan untuk membangun rumah tangga. Gaya hidup ini disebut dengan bi-hon (tidak menikah, tidak memiliki anak). Sebenarnya fenomena perempuan Korea Selatan untuk tidak menikah sudah muncul sejak tahun 2001 lalu, dengan sebutan Gold Miss. Namun, waktu itu perempuan yang tidak menikah adalah perempuan dengan karir cemerlang yang memiliki gaji tahunan 400juta rupiah dengan rentang usia 30an - 40an. The Korea Employment Information Service mengatakan jumlah Gold Misses yang di Korea Selatan mengalami kenaikan lebih dari 10x selama 5 tahun terakhir, dari 2.152 di tahun 2001 menjadi 27.223 di tahun 2006. Tidak hanya ada julukan Gold Miss, namun ada juga julukan seperti Platinum Miss dan Silver Miss. Semua itu dikelompokkan berdasarkan penghasilan mereka.
Pernah tidak merasa jiwa kita sepertinya tersesat. Berputar-putar dalam labirin, entah itu labirin kebimbangan dalam menimbang-nimbang keputusan, labirin kesedihan, ataupun labirin lainnya. Ataupun terasa seperti jatuh ke dalam lubang hitam yang tidak tahu kapan kita akan jatuh. Umur saya baru 22 tahun tetapi rasanya seperti sudah menghadapi quarter life crisis. Yah, meskipun saya tidak tahu seperempat umur saya berada di umur yang ke berapa, namun yang saya tahu saya mengalami ini setelah resign dari pekerjaan pertama atau mungkin saat hendak wisuda. Saya menganalogikan hidup setelah lulus dari dunia persekolahan itu seperti berlayar di lautan yang luas. Kalau kita tidak tahu tujuan kita hanya akan menetap di satu tempat, tapi kalau sudah menetapkan tujuanpun kita terkadang akan dihadang oleh suatu hal seperti cuaca buruk. Mengubah arah atau diterjang. Jangan lupakan juga soal pilihan kita, jika menerjang bisa jadi kapal rusak tetapi kita akan bisa mencapai tujuan dengan cepat. Jika mengubah arah kita harus bersiap apakah persediaan di kapal cukup untuk mencapai tujuan kita. Kita tidak tahu pasti hasil yang seperti apa yang akan kita dapatkan, tetapi kita harus tegas membuat pilihan.
"Aku ingin mati", pernah mendengar orang terdekat kita atau kenalan atau seseorang mengatakan kalimat itu? Iya saya pernah mendengarnya. Saya bahkan beberapa kali mengucapkannya dalam hati. Tiga kata sebagai bentuk rasa putus asa. Putus asa tidak mengetahui apa yang sebenarnya dirasakan, harus bagaimana, maupun diakibatkan karena apa. Tiga kata yang menurut pengucapnya merupakan jalan terbaik karena tidak dapat menemukan solusi lain, ataupun tidak mempunyai kepercayaan, harapan bahwa semuanya akan membaik.
Semenjak saya mempublikasikan tulisan saya , saya mulai berani untuk berekspresi di lingkungan. Sebenarnya ketika saya ingin membagikan link tulisan saya mengenai jilbab di instagram story, saya sempat ragu dan takut. 'Bagaimana kalau mereka membenci saya?', 'Bagaimana kalau mereka memutuskan tidak berteman dengan saya lagi?', 'Bagaimana kalau..... kalau.....?', otak saya tidak berhenti pada satu skenario buruk, tapi bermacam skenario buruk! Bahkan saya sempat membuat polling di instastory khusus di close friend list, 'Apakah saya harus share tulisan saya?'. Saya pikir semua teman yang ada di list saya akan berkata 'YES', tapi ternyata ada juga yang memberi tanggapan 'NO'. Saya sedikit kaget dengan hasilnya, terutama yang memilih 'NO'. Mungkin mereka juga memikirkan skenario terburuk dari aksi saya. Saya tidak menyalahkan kalian, terimakasih. Tetapi maaf bagi yang memilih 'NO', saya mengecewakan kalian. Saya membagikan tulisan saya di instastory (publik). 'Kita tidak bisa membahagiakan setiap orang', quote itu yang selalu terngiang di kepala saya dan memberikan saya keberanian.
Terlepas kata "cara2 malas lelaki mengambil hati perempuan ", melihat postingan di instastory akun tersebut membuat saya tiba-tiba ingin mengutarakan opini: benar, saya merasa lebih senang dipuji dari hal tersebut (saya menyebutnya jiwa (soul) karakter) dibandingkan sekedar penampilan fisik. Saya juga lebih memilih memuji lawan jenis, laki-laki dari hal non-fisik.
Cinta cinta cinta. Satu kata tetapi memiliki berbagai makna. Kita mungkin bisa menyepakati makna cinta secara umum adalah perasaan sayang kepada seseorang atau mungkin sesuatu, tetapi setiap orang memaknai kata tersebut berbeda-beda. Bahkan, seiring berjalannya waktu seorang bisa memaknai cinta dengan bermacam-macam cara. Sehingga kadang mempertanyakan apa itu dan bagaimana saya mencintai? Saya sudah hidup selama 22 tahun lebih 4 bulan tetapi sampai sekarang masih bingung memaknai cinta –dapat dikatakan saya bodoh dalam urusan cinta. Pernah dulu saya mencintai orang yang tidak pernah saya temui. Orang yang mendengar pengakuan saya reaksinya kebanyakan adalah tertawa dan tidak percaya.
22 November 2017 saya akan menghadiri wisuda saya. Selama menunggu wisuda saya memilih menghabiskan waktu di rumah. Iya, karena setelah wisuda saya harus merantau ke Tangerang –bekerja. Rumah tentu saja nyaman, saking nyamannya membuat saya terlena dan menjadi malas. Di Jogja saya adalah termasuk yang rajin tetapi di rumah entah kenapa rasanya menjadi pribadi yang malas. Bangun siang, mandi sore hari, hanya tiduran saja di kasur dan bermain HP. Rumah menawarkan perasaan malas tersendiri bagi saya. Mungkin karena semuanya sudah tersedia –tidak perlu bersusah payah mencari makan, tidak ada rutinitas menjadi mahasiswa atau anggota suatu organisasi. Saya tidak keberatan menjadi malas, begitu pikir saya tapi sepertinya Ibu tidak menyukai pemikiran tersebut. Seringkali karena malas, Ibu memarahi saya. Termasuk apabila saya melewati jam sholat, terutama sholat shubuh. Awalnya saya biasa saja, tetapi karena setiap hari ditekan perihal jam sholat saya menjadi jengkel. Saya menyadari itu memang salah saya karena tidak beribadah.
3 Oktober 2017, Saya lulus sidang Tugas Akhir! Senang tentu saja karena saya mendapatkan nilai yang memuaskan, tapi sebenarnya ada perasaan sedihnya. Selain karena teman-teman tidak hadir karena sudah lulus semua, saya merasa performa presentasi saya kurang. Kata “mungkin seperti ini, mungkin seperti itu, mungkin bla bla”, terlalu banyak kata mungkin yang saya gunakan sehingga menurunkan tingkat “kepercayaan diri” saya di mata dosen penguji. Waktu itu dosen berkata “Jangan gunakan kata mungkin, katakan saja yang kamu ketahui apa yang kamu pikirkan tanpa ragu-ragu. Jangan takut salah, itu kan pemikiran kamu dan kalau salah itulah gunanya ada dosen penguji.”
Ketika sidang dinyatakan selesai, saya keluar ruangan dan disambut dengan beberapa teman yang hadir. Kami melakukan foto bersama. Iya memang saya tersenyum, tetapi sebenarnya saya kecewa dengan sidang saya. Ingin rasanya meluapkan tetapi tidak bisa karena orang-orang sekitar memasang wajah bahagia melihat saya menyelesaikan sidang. Saya merasa tidak enak merusak suasananya. Tahun ini merupakan tahun yang sungguh luar biasa! Banyak kejadian yang memberikan suka dan duka, yang tentunya sangat memberikan kesan. Bagi saya, di tahun ini hubungan antara teman, keluarga, dan diri saya sendiri sangatlah erat. Saya tidak dapat menggambarkannya, tetapi hubungan itu membuat tahun ini terasa spesial. 2017 diawali dengan liburan -pernikahan kakak sepupu- di Cilacap, saya menghabiskan waktu bersama keluarga. Keluarga saya sangatlah jarang menghabiskan waktu bersama di luar jadi ini adalah momen yang sangat saya nantikan dan karena itu saya rela membatalkan agenda tahun baru saya dengan teman-teman. Akhirnya saya meminta maaf kepada mereka karena tidak dapat meluangkan waktu untuk acara tahun baru di tahun ke-3 dan tahun terakhir kami kuliah. Terkadang kita harus mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lainnya. Juga, diri saya waktu itu berkata kapan lagi saya bisa menghabiskan waktu bersama keluarga saya? Siapa tahu, beasiswa yang saya ikuti lolos dan membawa saya jauh dari keluarga. Liburan di Cilacap sungguh singkat karena setelahnya saya harus kembali ke Jogja. Kembali bekerja, sebagai ketua dari program magang kami -Jeonju Volunteering Service- yang diadakan di Desa Patuk, Gunung Kidul. Bisa dikatakan ini adalah salah satu pencapaian terbesar saya karena dipercayai Program Studi saya untuk mengetuai sebuah acara yang berhubungan dengan pihak Korea. Saya senang sekaligus takut karena selama beberapa bulan tidak mempraktikan bahasa Korea lagi. Tetapi, saya harus melakukan apa yang harus dilakukan -kewajiban. Saya melihatnya sebagai sebuah tantangan untuk mengasah mental saya. Benar saja, kegiatan magang saya menguras tenaga dan mental saya. Bisa dikatakan kegiatan selama 12 hari setara dengan akumulasi persiapan acara yang pernah saya pegang yang harus dipersiapkan berbulan-bulan. Bahkan di acara penutupan saya menangis haru ketika dipeluk oleh ketua acara dari pihak Korea sambil membisikkan "kamu telah bekerja keras, good job!". Saya tidak akan melupakan sensasi saat itu. Saat dimana mental dan fisik terus menerus ditekan selama 12 hari, dan harus menemukan celah untuk menikmatinya. Saya ucapkan terimakasih kepada rekan-rekan magang saya, rekan tim Olahraga dari Korea, para dosen dan semua pihak yang terlibat. Saya mendapatkan banyak pelajaran dari program magang tersebut. Terapi relaksasi yang bagus dan cocok untuk melepas stress adalah teman, -bagi saya. |
AuthorPanggilannya Bella, seorang yang......begitulah Archives
September 2018
Categories
|