Let's exchange and have some discussion in the comment box!
Jujur saya adalah pribadi acuh tak acuh dan jarang mengutarakan pendapat apabila itu dirasa kurang urgent, tetapi saya dibuat geram dengan isu ketidakadilan karena prasangka gender. Ya, saya belajar ilmu feminisme mungkin baru-baru saja, saya mengetahui istilah itu ketika duduk di bangku perkuliahan berkat teman dekat saya yang mengangkat tema Tugas Akhir mengenai feminisme. Feminisme adalah perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju sistem yang adil bagi perempuan dan laki-laki. Salah satu tantangan besar bagi para feminis adalah kurangnya kesadaran masyarakat bahwa hak setiap manusia adalah menentukan jalan apa yang dipilihnya. Akan tetapi masyarakat seakan mendikte seorang individu untuk menjadi sosok yang mereka inginkan dan –parahnya- mencela individu yang tidak menjadi sosok sesuai keinginan mereka. Seorang individu –baik perempuan maupun laki-laki- harus berada di bawah tekanan masyarakat,-yang telah menjadi budaya. Salah satu budaya yang dianggap kurang menguntungkan bagi kesetaraan gender adalah budaya patriarki. Budaya patriarki menempatkan posisi sosial kaum laki-laki lebih tinggi daripada kaum perempuan -bukan berarti lelaki tidak mengalami tekanan karena budaya ini. Berdasarkan Komnas Perempuan terjadi 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2016. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan, diadakan berbagai kampanye salah satunya adalah gerakan internasional “16 Days of Activism” dari tanggal 25 November – 10 Desember. Untuk memperingati gerakan tersebut, saya bermaksud untuk mengungkapkan beberapa 'pengalaman dan opini saya' selama ini –meskipun seharusnya saya tulis satu-persatu supaya lebih terperinci. Saya sebagai salah seorang warga Indonesia dan berasal dari suku Jawa sangat merasakan bagaimana masyarakat berusaha mendefenisikan saya sesuai keinginan mereka –budaya patriarki. “Perempuan itu harus pandai masak”, “Perempuan itu harus lebih kalem”, “Ngapain ikut mancing? Kamu perempuan di rumah saja” dan sebagainya. Respon saya? Memberontak. Bukan pemberontakan besar seperti perang atau bagaimana, saya punya cara sendiri. Saya mengkaji setiap perkataan mereka dan melakukan yang berlawanan –tentu saja jika menurut saya itu tidak merugikan saya. Mungkin terdengar kekanakan –karena memang saya masih dalam usia kanak-kanak, tetapi saya tidak tahu apa yang bisa saya lakukan untuk menghentikan stereotip yang mereka berikan kepada saya. Saya bermain bola bersama anak laki-laki, menggemarinya juga play station, selalu memotong rambut ketika sudah panjang, anti dengan hal berbau perempuan, dan sebagainya. Memasuki kehidupan kuliah saya yang lebih berwarna, saya mengetahui bahwa di sekitar saya selama ini pengetahuan bahwa perempuan dan laki-laki itu sejajar masih kurang. Memang betul saya menjadi ketua organisasi atau kepanitian adalah contoh kesetaraan gender, akan tetapi bahkan dalam pelaksanaannya masyarakat masih menyangkut pautkan gender. Sebagai contohnya, ketika rapat dengan salah satu lembaga/organisasi di fakultas saya, perilaku mansplaining terjadi -sering terjadi. Anggota rapat –yang mayoritas laki-laki- menyampaikan pendapatnya satu-persatu, namun ketika –seharusnya- giliran saya, mereka melewatkan untuk mendengarkan ‘pendapat’ saya. Kesalahan saya adalah sikap diam yang diam-diam saya sesali. Ada lagi kejadian dimana setelah kepanitian dibubarkan, rekan saya berkata "saya kagum sama kamu karena walaupun kamu perempuan, kamu tidak mudah termakan emosi dan kalem", hal itu membuat saya sadar bahwa masyarakat beranggapan jika perempuan tidak bisa menjadi pemimpin atau bekerja dengan baik karena perasaan/emosi mereka yang dominan dibandingkan logika mereka, padahal dalam sebuah penelitian tidak begitu. Laki-laki bahkan lebih emosional dibandingkan perempuan hanya saja lebih memilih untuk tidak menunjukkannya. Menurut saya bukan gender yang perlu dijadikan patokan tetapi kecakapan seseorang dalam mengerjakan sesuatu. Apabila seorang perempuan atau laki-laki mampu mengerjakan sesuatu yang dianggap ‘tidak lumrah’ oleh masyarakat, kenapa tidak? Anggapan masyarakat mayoritas seringkali dijadikan patokan, tentu saja karena itu sudah menjadi sebuah budaya. Salah satu dampak dari kurangnya pengetahuan kesetaraan gender adalah objektifitas manusia. Seringkali tanpa kita sadari maupun tidak, kita tidak memperlakukan seseorang layaknya manusia. Kita memandangnya sebagai sebuah objek tanpa mempedulikan hak maupun perasaannya. Mungkin ada yang pernah mengalami kejadian seorang atau segerombolan orang mengatakan Anda menarik, memuji bagian tubuh Anda, bersiul, dsb ke arah Anda. Itu disebut catcalling. Seringkali karena saya suka berjalan sendiri, saya mendapatkan catcalling. Saya kemudian menceritakan kejadian ini kepada beberapa teman saya untuk mengetahui reaksi mereka. Saya bercerita bahwa suatu malam saya berjalan –dengan pakaian tertutup saya- sendirian untuk pulang ke kosan dan tiba-tiba seorang lelaki berkata “awas mbak malam-malam sendirian”, yang saya balas “iya mas siap” dan kemudian dibalas dengan siul-siulan yang riuh. Ada teman saya yang mengatakan bahwa dia mengalami kejadian yang sama di tempat sama dan geram "otak isinya cuma dada, paha, sama vagina doang", ada yang acuh tak acuh, ada yang mengatakan “bagus dong dia peduli sama kamu dan untuk apa juga sih kamu jalan sendirian?”. Mendengar komentar terakhir, sebenarnya saya merasa miris dan sedikit merasa victim blaming. Saya berpikir untuk apa saya takut berjalan sendirian karena saya merasa yakin daerah yang saya lewati aman dari begal dan bahkan daerah tersebut masih ramai. Justru yang membuat saya merasa tidak aman dan nyaman adalah catcalling yang mereka lakukan kepada saya. Banyak sebenarnya hal dalam pikiran saya terkait kejadian-kejadian yang terjadi kepada saya, tetapi untuk sementara saya hanya dapat menyampaikan sekilas. Saya sangat beruntung menemukan kata feminisme dan dapat mempelajarinya. Tanpa itu, mungkin saya masih bertanya-tanya apakah saya tidak normal? Tidak normal karena tidak ingin masyarakat memandang saya sebagai 'perempuan', melainkan 'manusia utuh'. Tidak normal karena masyarakat memandang sebelah mata ketika saya menjadi ketua. Tidak normal karena segerombolan atau seorang lelaki asing menggoda saya ketika saya tidak sedang menggodanya. Pada intinya menganggap tidak normal menjadi perempuan. Selain itu, mental saya tersiksa karena hal tersebut. Saya tidak bisa menerima diri saya sebagai perempuan dan selalu berandai untuk terlahir menjadi lelaki. Setelah mempelajari feminisme saya mulai menerima diri saya sendiri, dan mencoba mencintai diri sendiri. Saya berharap bahwa masyarakat mulai membuka matanya tentang isu gender dan kekerasan, ketidakadilan di dalamnya. -Jangan salahkan dia karena terlahir sebagai perempuan atau laki-laki, tetapi jika dia memang bersalah salahkanlah sebagai seorang manusia yang masih harus belajar- #16DAYSOFACTIVISM2017 *NB: mungkin ada yang beranggapan bahwa tulisan saya terlalu berpihak perempuan dan terlalu menyalahkan lelaki, tetapi bukan itu point saya. Saya hanya sharing pengalaman saya, perempuan mengenai prasangka gender dalam masyarakat yang pernah saya alami. Sekali lagi, feminisme adalah perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju sistem yang adil bagi perempuan dan laki-laki. Vidio di bawah adalah salah satu ungkapan mengenai pentingnya gerakan ini.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorPanggilannya Bella, seorang yang......begitulah Archives
September 2018
Categories
|