Apa itu masyarakat homogen? Masyarakat homogen adalah sebuah masyarakat yang secara dominan atau keseluruhan terdiri dari orang-orang yang memiliki etnisitas/ras, bahasa, dan tradisi kultural yang sama. Menurut website http://www.ediplomat.com Korea adalah salah satu negara di dunia yang sangat homogen, secara ras dan linguistik. Korea memiliki budaya, bahasa, baju, dan makanannya sendiri, terpisah dan berbeda dari negara tetangganya. Berdasarkan kutipan tersebut, kecenderungan orang Korea dalam memilih penampilan untuk keseharian mereka dapat dikatakan homogen. Ketika saya pertama kali menjalani kehidupan kuliah saya di Korea -tepatnya di Gyeongsang National University, Jinju bulan Februari 2017 akhir- saya tertegun dengan penampilan mahasiswa Korea di universitas saya. Ekspektasi saya ketika masih berada di Indonesia, penampilan orang Korea sangat berwarna seperti dalam drama ataupun vidio klip para penyanyi solo maupun boyband/girlband. Akan tetapi, ternyata tidaklah seperti itu. Mayoritas, mahasiswa di universitas saya menggunakan coat atau padding berwarna hitam. Selain hitam, warna untuk baju yang sering digunakan adalah warna pastel seperti pink dan biru, abu-abu, navy, dan coklat. Keheranan saya yang lainnya adalah, di Indonesia sering saya jumpai orang-orang menggunakan sepatu berwarna warni seperti merah, biru, putih, dan warna lainnya. Sepatu hitam dipakai untuk anak yang bersekolah. Akan tetapi di Korea -yang merupakan negara fashion- mahasiswa di universitas saya lebih memilih menggunakan sepatu berwarna putih atau hitam. Seketika itu saya berpikir mungkin negara Korea adalah negara yang homogen. Menurut artikel di website The Korea Times, masyarakat Korea sudah dididik sejak Sekolah Dasar bahwa mereka "ethnically homogeneous/ homogen secara etnik''. Berdasarkan artikel di website The New York Times, “ethnically homogeneous“ memiliki kesamaan kata dengan "skin color” and “peach”. Meskipun istilah "skin color" terdengar rasis, pada kenyataannya masyarakat Korea sangat menjunjung hal tersebut terutama orang tua. Jika Anda membaca artikel di website The New York Times, Anda akan memahami bahwa masyarakat Korea masih belum sepenuhnya dapat menerima warga asing yang tinggal di Korea. Hal tersebut pernah saya alami ketika saya sedang pergi keluar bersama dengan salah satu teman kenalan saya -lelaki Korea- hanya berdua saja. Semua orang memandang ke arah kami dengan tatapan mengintimidasi dan aneh. Beruntung tidak ada kejadian yang tidak diinginkan ketika itu, meskipun hal itu kami rasa kurang begitu nyaman. Kurangnya fasilitas ibadah di Korea juga menunjukkan bahwa masyarakat Korea masih dalam tahap menerima kebudayaan dari luar. Meskipun begitu, ada pula masyarakat Korea yang melihat saya -dengan penampilan muslim yang menggunakan hijab- mengajak saya untuk berbincang singkat. Kebanyakan yang mengajak berbincang dengan saya adalah para ajumma (bibi). Mereka memuji hijab saya -mereka mengatakannya cantik- dan ketika saya membeli makan, mereka memberitahukan makanan yang tidak mengandung babi. Seiring berjalannya waktu, Korea -mungkin- akan menjadi masyarakat multikultural dikarenakan banyaknya imigran yang tinggal di Korea untuk bekerja maupun belajar. Meskipun untuk sekarang hal itu dirasa cukuplah sulit, karena pendapat dari kritikus, profesor, dan pemerintah sepertinya belum mencapai kesepakatan dalam mengatur hukum mengenai "ethnically homogeneous". "How to survive: selalu ingat budaya asal dan jaga keharmonisan"
10 Comments
12/21/2022 07:01:09 am
İnstagram takipçi satın almak istiyorsan tıkla.
Reply
1/8/2023 11:38:31 am
100 tl deneme bonusu veren siteleri öğrenmek istiyorsan tıkla.
Reply
5/26/2023 12:23:26 pm
thank you for nice information. please visit our web ; <a href="https://umj.ac.id ">UMJ Modern</a>
Reply
6/30/2023 07:39:52 am
En iyi ağrı ilan sitesi burada. https://agri.escorthun.com/
Reply
Leave a Reply. |
AuthorPanggilannya Bella, seorang yang......begitulah Archives
September 2018
Categories
|