Let's exchange and have some discussion in the comment box!
Semenjak saya mempublikasikan tulisan saya , saya mulai berani untuk berekspresi di lingkungan. Sebenarnya ketika saya ingin membagikan link tulisan saya mengenai jilbab di instagram story, saya sempat ragu dan takut. 'Bagaimana kalau mereka membenci saya?', 'Bagaimana kalau mereka memutuskan tidak berteman dengan saya lagi?', 'Bagaimana kalau..... kalau.....?', otak saya tidak berhenti pada satu skenario buruk, tapi bermacam skenario buruk! Bahkan saya sempat membuat polling di instastory khusus di close friend list, 'Apakah saya harus share tulisan saya?'. Saya pikir semua teman yang ada di list saya akan berkata 'YES', tapi ternyata ada juga yang memberi tanggapan 'NO'. Saya sedikit kaget dengan hasilnya, terutama yang memilih 'NO'. Mungkin mereka juga memikirkan skenario terburuk dari aksi saya. Saya tidak menyalahkan kalian, terimakasih. Tetapi maaf bagi yang memilih 'NO', saya mengecewakan kalian. Saya membagikan tulisan saya di instastory (publik). 'Kita tidak bisa membahagiakan setiap orang', quote itu yang selalu terngiang di kepala saya dan memberikan saya keberanian. Instagram saya ramai dengan berbagai macam komentar, ada yang memberikan pujian terhadap tulisan saya, ada yang sekedar ber-OH-ria, ada yang mengutarakan kekecewaan, mendoakan saya semoga mendapat hidayah, dsb. Ada juga yang membagikan pengalaman lepas jilbabnya dan saya paling menyukai respon orang-orang yang membagikan pengalamannya. Salah satu kalimat yang selalu terngiang di kepala saya adalah, 'iya ada baiknya mempertahankan jilbab soalnya ketika kita lepas jilbab itu artinya kita bukan lagi mulai dari 0 lagi tapi dari minus, tekanan sosial dan cap itu pasti ada'. It was blowing my mind. Inilah kenapa saya menyukai sharing, karena kita bisa mendapatkan hal baru dari pespektif orang lain. Setelah saya membagikan link tersebut, saya mulai melepas jilbab saat acara formal yaitu kerja. Orang di lingkungan kerja saya (cabang A) cuma kaget saja dan bertanya kenapa? Tetapi sesudah itu yasudah, mereka tidak begitu mengulik terlalu dalam atau bahkan memberikan komentar "macam-macam". Tetapi, orang di lingkungan cabang B ada yang memberikan komentar cukup pedas. 'Bella mau pindah agama ya? Habis ini mau dibabtis'. Kurang lebih begitulah perkataannya. Jujur saya sakit hati dan marah. Dia bukan orang terdekat saya dan dia melampaui batas; privasi saya, bercandaan rasis (mengomentari agama saya dan rasis karena membawa-bawa agama lain). 'cap itu pasti ada', kalimat itu muncul secara otomatis dan membuat saya lebih "tenang". Namun, saya sebenarnya juga merasa sedih karena kurangnya apresiasi mengenai keberanian saya dalam berpendapat, terutama dari orang yang memiliki double standard. Yah mungkin karena ini hal yang tabu, atau bahkan buruk. Setelah saya sepenuhnya melepas jilbab di tanah perantauan, saya lebih merasa ringan. Meskipun mendapatkan stigma dari lingkungan, saya lebih merasa jadi diri sendiri. Bukan berarti saya langsung bebas tanpa batas. Saya memiliki agama di KTP, ISLAM. Saya ingin lebih mengenal agama lagi. Saya membeli buku tulisan M. Quraish Shihab berjudul "Islam yang Saya Anut". Isi bukunya ringan tetapi berbobot. Melihat agama Islam dari berbagai sudut pandang, dan menjabarkan dasar-dasar agama Islam dengan nalar kita. Jujur, saya sempat meragukan dan kecewa dengan agama Islam karena berbagai macam "kasus" yang menyangkutpautkan agama Islam khususnya di Indonesia. Namun buku ini bisa membuat saya menyadari indahnya agama Islam. Ada banyak hal yang ingin saya sampaikan dari buku ini saking bagusnya, tetapi saya akan menuliskan kalimat dari buku yang memiliki relevansi dengan topik tulisan saya. 'Substansi iman, terutama pada tahap-tahap pertama, selalu diliputi aneka tanda tanya. Keadaan orang beriman ketika itu bagaikan seorang yang sedang mendayung di lautan lepas yang sedang dilanda badai. Nun jauh di sana terlihat olehnya sebuah pulau harapan, tetapi apakah badai itu tidak akan menelannya? Apakah ia mampu mendayung?' (Quraish Shihab, 2018: 126). Iya benar, itu yang saya rasakan. Saya ingin benar-benar meyakini bahwa jilbab itu memang bagus untuk perempuan. Karena sekarang banyak pelecehan yang terjadi kepada perempuan berjilbab. Pasti ada makna yang lebih dalam dari sekedar kata 'menutup aurat', 'menjaga kehormatan'. Kedua hal itu masih terlalu abstrak di pikiran saya. Menjaga kehormatan itu ada berbagai macam cara, lalu cara seperti apa yang jilbab tawarkan kepada pemaikainya? Saya pernah melihat vidio seorang perempuan asal Korea Selatan, dia beragama Islam dan mengenakan jilbab. Dia berkata bahwa dengan mengenakan jilbab orang tidak memandang dia sebagai perempuan, tetapi sebagai manusia. Alasan beliau berkaitan dengan konsep rambut adalah mahkota perempuan. Mahkota yang dipakai raja maupun ratu untuk menunjukkan keagungannya/kekuasaannya. Jadi dia menutupi mahkotanya agar dipandang sebagai manusia apa adanya. Itu alasan yang cukup masuk akal dan menarik bagi saya, tetapi menjadi tidak masuk akal ketika nantinya "jilbab yang saya pakai berubah menjadi mahkota". Untuk menghindari hal itu, memang hati harus dibenahi. "Urusan agama sebenarnya adalah urusan antara Tuhan dan individu, fungsi masyarakat hanyalah pengingat, bukan menyinyir."
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorPanggilannya Bella, seorang yang......begitulah Archives
September 2018
Categories
|