Let's exchange and have some discussion in the comment box!
Jujur saya adalah pribadi acuh tak acuh dan jarang mengutarakan pendapat apabila itu dirasa kurang urgent, tetapi saya dibuat geram dengan isu ketidakadilan karena prasangka gender. Ya, saya belajar ilmu feminisme mungkin baru-baru saja, saya mengetahui istilah itu ketika duduk di bangku perkuliahan berkat teman dekat saya yang mengangkat tema Tugas Akhir mengenai feminisme. Feminisme adalah perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju sistem yang adil bagi perempuan dan laki-laki. Salah satu tantangan besar bagi para feminis adalah kurangnya kesadaran masyarakat bahwa hak setiap manusia adalah menentukan jalan apa yang dipilihnya. Akan tetapi masyarakat seakan mendikte seorang individu untuk menjadi sosok yang mereka inginkan dan –parahnya- mencela individu yang tidak menjadi sosok sesuai keinginan mereka. Seorang individu –baik perempuan maupun laki-laki- harus berada di bawah tekanan masyarakat,-yang telah menjadi budaya. Salah satu budaya yang dianggap kurang menguntungkan bagi kesetaraan gender adalah budaya patriarki. Budaya patriarki menempatkan posisi sosial kaum laki-laki lebih tinggi daripada kaum perempuan -bukan berarti lelaki tidak mengalami tekanan karena budaya ini. Berdasarkan Komnas Perempuan terjadi 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2016. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan, diadakan berbagai kampanye salah satunya adalah gerakan internasional “16 Days of Activism” dari tanggal 25 November – 10 Desember. Untuk memperingati gerakan tersebut, saya bermaksud untuk mengungkapkan beberapa 'pengalaman dan opini saya' selama ini –meskipun seharusnya saya tulis satu-persatu supaya lebih terperinci.
0 Comments
Zootopia! Animasi garapan Disney ini menjadi pusat perhatian saya akhir-akhir ini. Terdengar berlebihan memang, tetapi animasi ini membuat saya berpikir mengenai hidup dalam keberagaman. Pada awalnya alur dari Zootopia saya kira 'hanya sekedar' impian seorang kelinci untuk menjadi polisi yang pertama bagi kaumnya, tetapi tidak. Zootopia bukan animasi dengan impian saja tetapi juga menyampaikan sebuah isu. Isu yang sangat hangat di dunia ini. Keharmonisan dalam keberagaman, stereotip sebagai hasil justifikasi yang sering kita jatuhkan kepada kelompok, dan pemikiran skeptis terhadap kelompok lain. Pada awal cerita, melalui pentas drama diceritakan bahwa kelompok hewan terbagi menjadi dua yaitu predator dan mangsa. Waktu berjalan dan akibat dari revolusi mereka meninggalkan cara primitif dan hidup berdampingan. Tidak ada predator maupun mangsa. Namun, stereotip antara hewan sering disinggung dalam animasi ini. Seperti, rubah yang distereotipkan sebagai yang pintar tapi licik, kelinci yang bodoh namun lucu, dan masih banyak. Judy, sebagai tokoh utama mencoba mendobrak stereotip tersebut. Dia berhasil menjadi kelinci pertama yang menjadi polisi. Dia bahkan berteman dengan Nick yang seekor rubah. Akan tetapi, masih banyak hewan-hewan yang mempercayai stereotip dan memperlakukan kaum tersebut sesuai stereotip. Apa itu masyarakat homogen? Masyarakat homogen adalah sebuah masyarakat yang secara dominan atau keseluruhan terdiri dari orang-orang yang memiliki etnisitas/ras, bahasa, dan tradisi kultural yang sama. Menurut website http://www.ediplomat.com Korea adalah salah satu negara di dunia yang sangat homogen, secara ras dan linguistik. Korea memiliki budaya, bahasa, baju, dan makanannya sendiri, terpisah dan berbeda dari negara tetangganya. Berdasarkan kutipan tersebut, kecenderungan orang Korea dalam memilih penampilan untuk keseharian mereka dapat dikatakan homogen. 16 Feburari 2017, allhamdulilah saya mendapatkan berita yang sungguh tidak terduga. Bagaimana tidak? Ketika teman-teman saya sudah mendapatkan pengumuman beasiswa, saya masih belum ada kabar sama sekali. Teman saya bahkan memarahi saya kenapa harus memilih universitas yang sama yang telah menolak saya dua kali. Akhirnya, karena penasaran saya mencoba bertanya langsung kepada pihak GNU (Gyeongsang National University) dan benar saja ternyata pihak mereka (Mr. Cho) lupa menginformasikan kepada kami. Allhamdulilah saya diterima! Sungguh saya kaget karena sebelumnya saya tidak berekspektasi akan diterima. Bahkan, sebelumnya saya sudah membuat rencana untuk menjadi backpackper ke Karimun Jawa bersama sahabat saya.
Saya hanya mempunyai waktu seminggu untuk mempersiapkan keberangkatan saya, karena kegiatan belajar akan dimulai pada 1 Maret 2017. Selama seminggu, selain mempersiapkan keberangkatan saya meluangkan waktu untuk pergi bersama teman-teman saya. Meskipun melelahkan, tetapi saya harus. Tahun ini adalah tahun ketiga saya di Sekolah Vokasi UGM, yang artinya saya adalah mahasiswa akhir. Sementara saya exchange ke Korea, teman-teman saya akan mengerjakan Tugas Akhir mereka dan bahkan lulus terlebih dahulu. Ini seperti kesempatan terakhir saya untuk berkumpul dengan formasi lengkap, karena kita tidak tahu rencana kedepan akan seperti apa. Sedih memang harus berpisah dengan mereka, terlebih mereka sudah saya anggap sebagai keluarga saya. Mereka yang membantu saya, menyemangati saya, yah meskipun terkadang saya jengkel juga terhadap mereka. Jika diperhatikan secara seksama, sebenarnya ambisi dan nafsu memiliki kesamaan. Ambisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya berkeinginan keras untuk mencapai sesuatu, sedangkan nafsu adalah keinginan (kecenderungan, dorongan) hati yang kuat. Kita dapat menganggap, bahwa ambisi dan nafsu adalah keinginan yang keras atau kuat. Seringkali -tanpa disadari- ketika kita terobsesi dengan mengejar suatu hal, kita melupakan tujuan awal. Ketika saya berusaha untuk mengejar impian -mendapatkan beasiswa ke Korea- , saya terlalu terobsesi dengan hal tersebut sampai melupakan apa yang berharga dalam hidup saya. Pada awalnya saya merasa bahwa obsesi yang saya miliki adalah sebuah ambisi yang mampu mengubah kehidupan saya menjadi positif, tetapi semakin lama ambisi tersebut berubah menjadi nafsu. Ambisi yang saya miliki tidaklah selalu berjalan mulus. Saya telah gagal dalam beberapa hal berkali-kali. Gagal mengikuti salah satu program yang diadakan program studi saya (Pasific Asia Society 2015), beasiswa Program S1 di Kyungnam National University, beasiswa NIIED KGSP, exchange student ke Gyeongsang National University dua kali. Kegagalan yang saya alami tentu saja membuat depresi dan frustasi karena dari sekian program yang saya apply belum ada yang berhasil. Tentu saja, depresi dan frustasi wajar kita alami apabila kita merasa sudah melakukan apapun yang kita bisa tetapi ternyata hasilnya belumlah sesuai harapan. Perasaan depresi dan frustasi yang menumpuk -tanpa saya sadari- mengubah ambisi saya menjadi sebuah nafsu. Pernah terpikirkan "apa passion saya?". Jika mengatakan passion saya adalah bermain game yang merupakan hobi saya, sepertinya kurang tepat. Saya hanya menikmati permainan game yang saya mainkan, tetapi saya tidak mendedikasikan diri saya untuk game. Layaknya sebuah kapal yang berlayar, saya tidak memiliki kompas untuk menentukan arah tujuan.
Keputusan paling sulit yang pernah saya ambil adalah menentukan program studi apa yang harus diambil. Kenapa? Karena itu akan berdampak kepada masa depan saya kelak, karir saya, tingkat kebahagiaan saya. Orang tua dan masyarakat cenderung mengarahkan saya untuk mengambil program studi ekonomi (akuntansi, manajemen, dsb) karena saya adalah siswa IPS. Mulanya, saya setuju karena saya tidak memiliki masalah dengan mata pelajaran tersebut dan masih dapat mengikutinya. Akan tetapi, ketika saya pikirkan kembali, sepertinya kehidupan saya hanya akan datar jika mengambil program studi tersebut. Saya mempunyai mimpi untuk mengunjungi negara 4 musim ketika masih kecil, lantas kenapa saya tidak mengambil program studi yang memiliki peluang besar yang akan mengantarkan saya mencapai mimpi saya? Meskipun saya dapat pergi melalui program studi ekonomi, akan tetapi kesempatan yang ditawarkan terlalu kecil mengingat saingan saya pastilah banyak. Selain itu, mengingat saya suka mempelajari bahasa kenapa tidak saya mengambil program studi Bahasa Korea? Saya menikmati dan menyukai budayanya juga kesempatan yang ditawarkan untuk prospek kerja sebenarnya sangatlah bagus. Pada akhirnya, saya mengambil program studi ini. Meskipun pada awalnya orang tua dan bahkan masyarakat melarang atau meragukan saya, saya ambil resiko ini karena saya menyukai Bahasa Korea dan membulatkan tekad untuk memperoleh beasiswa exchange program untuk ke Korea. Melihat orang-orang mengenakan sebuah seragam memanglah terlihat keren. Hal tersebut yang memotivasi saya awalnya untuk segera sekolah. Bahkan umur saya barulah 4 tahun kala itu. Melihat antusias yang tinggi, akhirnya saya masuk ke sebuah TK di daerah Blora -mengikuti Ibu yang bekerja di SMP kawasan tersebut-. Tetapi, pada akhirnya seragam hanyalah seragam yang menunjukkan identitas. Tidaklah lebih.
SD sampai SMA saya termasuk siswa pasif dan tidak gemar belajar tetapi nilai saya tetaplah bagus. Saya bersyukur karena itu. Sekolah tidaklah semenyenangkan yang saya bayangkan. Saya menjadi pemalas dan bahkan melupakan impian-impian saya. Kenyataan yang saya hadapi bahwa jika ingin mengejar impian adalah harusnya saya rajin secara akademik dan non-akademik. Bukannya belajar mengasah diri, saya malah kecanduan dengan permainan game. Sebenarnya Ibu membantu mengarahkan saya untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang sekiranya akan menunjang potensi. Awalnya saya mengikuti arahan beliau, tetapi 1 atau 2 kali pertemuan saya langsung keluar karena membosankan. Tetapi ada 1 kegiatan yang masih saya tekuni kala itu. Kelas Bahasa Jepang. Kegiatan itu termasuk kegiatan terlama yang saya ikuti walaupun pada akhirnya keluar. Gadis kecil berambut sebahu itu duduk di ruang keluarga bermain dengan adik lelakinya. Jam menunjukkan pukul 15.00 -tentu saja gadis kecil tersebut tidak dapat membaca jam- yang menandakan sebentar lagi Ibu akan segera pulang. Benar saja, terdengar suara motor di luar dan seseorang muncul dari pintu depan. Sosok tersebut adalah Bapak -yang kembali dari menjemput Ibu- dan Ibu dari kedua anak-anak tersebut. Muka beliau -Ibu, walau menunjukkan tanda keletihan- sangat bahagia melihat kedua anaknya yang menyambutnya dengan senyum lebar. Kedua anak itu, tentu saja menantikan sosok Ibu yang sudah meninggalkan mereka sejak Subuh demi memenuhi kebutuhan keluarga. Sang Ibu adalah guru sejarah di SMP kota sebelah sehingga mengharuskan beliau untuk berangkat sepagi mungkin. Gadis kecil yang masih polos tersebut, tidaklah mengerti bahwa Ibu mereka kelelahan dan langsung bertanya kepada Ibunya. "Bu, hari ini bawa buku apa?" |
AuthorPanggilannya Bella, seorang yang......begitulah Archives
September 2018
Categories
|