Let's exchange and have some discussion in the comment box!
22 November 2017 saya akan menghadiri wisuda saya. Selama menunggu wisuda saya memilih menghabiskan waktu di rumah. Iya, karena setelah wisuda saya harus merantau ke Tangerang –bekerja. Rumah tentu saja nyaman, saking nyamannya membuat saya terlena dan menjadi malas. Di Jogja saya adalah termasuk yang rajin tetapi di rumah entah kenapa rasanya menjadi pribadi yang malas. Bangun siang, mandi sore hari, hanya tiduran saja di kasur dan bermain HP. Rumah menawarkan perasaan malas tersendiri bagi saya. Mungkin karena semuanya sudah tersedia –tidak perlu bersusah payah mencari makan, tidak ada rutinitas menjadi mahasiswa atau anggota suatu organisasi. Saya tidak keberatan menjadi malas, begitu pikir saya tapi sepertinya Ibu tidak menyukai pemikiran tersebut. Seringkali karena malas, Ibu memarahi saya. Termasuk apabila saya melewati jam sholat, terutama sholat shubuh. Awalnya saya biasa saja, tetapi karena setiap hari ditekan perihal jam sholat saya menjadi jengkel. Saya menyadari itu memang salah saya karena tidak beribadah. Saya berpikir, sepertinya saya kurang memahami esensi perihal agama dan pentingnya ibadah. Meskipun orangtua saya mengajak mengikuti pengajian, mengingatkan saya sholat, meminta saya memakai jilbab, semua itu saya lakukan begitu saja tanpa adanya 100% kesadaran diri bahwa itu adalah beberapa kewajiban saya sebagai Muslim. Saya paham konsep ibadah, amal, akhirat dan instrumen keagamaan, tetapi dari dalam diri saya seperti belum ada gebrakan untuk melaksanakannya. Saya bahkan mempertanyakan kenapa saya dulu memutuskan memakai jilbab. Apa alasan saya dahulu? Saya menelurusi memori ingatan dan teringat bahwa saya memakai jilbab hanya karena ingin menutupi rambut yang susah diatur. Hanya sebatas itu. Selama memakai jilbab, saya menyukainya karena terlihat cocok dan rapi –karena rambut saya yang berantakan tertutupi.
Saya sudah menetapkan memakai jilbab kala itu, jadi saya juga berusaha berkomitmen. Ketika kuliah, banyak teman yang sering memakai dan melepas jilbab. Awalnya saya kaget, “Kok seperti itu?”, tetapi saya memilih diam dan menghormati pilihan mereka meski diam-diam kurang suka. Sekarang, saya mulai memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh mereka. Alasan saya memakai jilbab kurang konkrit. Jilbab hanya seperti pakaian saya, kode identitas saya tetapi tidak memiliki esensi atau makna yang mendalam bagi saya sendiri. Mungkin ada yang heran, “Loh tapi kamu di Korea pakai jilbab kan? Karena itu kamu tidak terjerumus pergaulan mereka seperti makan babi atau minum alkohol.” Memang benar selama di Korea saya tidak makan babi ataupun minum alkohol sampai mabuk, tetapi sebenarnya ada perasaan saya ingin mencoba minum alkohol sampai merasakan mabuk meski hanya sekali. Makan babi, saya tidak begitu penasaran. Apa yang membuat saya menahan diri untuk tidak mencicipi rasa mabuk adalah lingkup pertemanan saya. Saya berteman dengan beberapa orang yang taat beribadah, jadi saya merasa malu, bersalah jika minum sampai mabuk dan mereka mengetahuinya. Saya sadar, saya membohongi diri saya sendiri. Saya hanya memikirkan anggapan orang terhadap saya. Saya mencoba bertanya kepada teman-teman saya mengenai pengandaian kalau saya melepas jilbab. Ada yang berkata, “Tidak apa-apa Bella, itu hak kamu dan yang jelas saya masih mau berteman denganmu,” ada juga “Kamu serius? Pikirkan sekali lagi, meskipun kamu merasa jilbab tidak mengubahmu jadi orang lebih baik/alim tapi kamu terhindar dari perbuatan dosa (jilbab sebagai instrumen pembatas dan pengingat diri dalam bentuk fisik).” Banyak pro dan kontra, sehingga saya sulit memutuskannya. Meskipun begitu, saya mencoba memberanikan diri untuk lebih explore terkait isu dalam diri saya ini. Sejak dahulu sebenarnya saya sering melepas jilbab ketika saya pergi keluar sendiri untuk mencari makan, saya lepas karena saya merasa aman sebab tidak ada kenalan yang akan memberikan komentar. Jadi saya berpikiran kalau seumpama saya melakukan social experiment lepas jilbab bagaimana tanggapan mereka. Tanggapannya beragam, pro dan kontra sudah wajar. Kontra, ada yang bertanya sambil atau ‘seolah’ bergurau, “Jilbabmu kemana Bell?”, ada yang kecewa dan berkata, “Padahal aku sudah mau serius pakai jilbab tetapi kamu temenku malah lepas”, ada juga berkata “Cantikan pakai jilbab”, atau pujian disertai ‘gurauan’, “Bella cantik lepas pakai jilbab, tapi cantiknya di dunia saja”. Sedangkan untuk yang pro, mereka mengatakan yang intinya saya lebih cantik karena muka saya yang kecil, terlihat lebih pintar apalagi dengan kacamata, dan memberikan support kepada saya. Ada juga pihak netral yang hanya sekedar bertanya “Kok tidak pakai jilbab?” ,”Bella lepas jilbab? Terlihat berbeda jadi aku pangling”. Ada juga yang diam dan menyimpan pendapatnya sendiri. Dari beragam komentar tersebut, saya mencoba menarik benang merah antara tim pro dan kontra. Tim kontra terdiri dari kenalan yang memegang agama dan mengetahui pengetahuan mengenai agama, rajin beribadah, beribadah namun tidak rajin juga ada. Tim pro terdiri oleh kenalan saya yang memiliki pemikiran terbuka, ada juga yang berbeda agama. Saya menjadi berpikir jika mengacu pada tim pro, apakah ini berarti jika saya terus melepas jilbab saya termasuk ‘nakal’, orang tidak paham agama, liberal dsb? Atau apakah itu hanya ilusi saya? Pikiran itu terus menghantui saya. Sejauh ini saya hanya melakukan social experiment ketika bermain, untuk kegiatan formal saya masih memakai karena masih 'takut' dengan komentar yang beragam. Selain itu, terasa canggung. Bahkan bermainpun, kalau saya rasa akan mengambil foto untuk diunggah ke social media saya memakai jilbab. Jika dipikir, saya menjalani hidup seolah memiliki dua identitas. Saya tidak tahu sampai kapan saya terjebak untuk menjalani dua identitas ini atau melakukan social experiment ini, tetapi yang jelas saya ingin mencari referensi dari sumber terpercaya. Saya mencoba mencari referensi secara ilmiah. Pandangan mengenai hukum jilbab di internet dan pendapat beberapa tokoh mengenai pemakaian jilbab. Ada yang mengatakan jilbab itu wajib, ada yang mengatakan jilbab itu hasil budaya di Arab kala itu yang kemudian diterapkan sehingga sebenarnya tidaklah wajib karena yang diminta untuk ditutup aurat adalah bagian tubuh yang tidak wajar seperti payudara dan kemaluan. Tentu saja saya tidak mempercayai internet begitu saja, saya berusaha mempelajarinya juga melalui Al-Qur’an dan mencoba mendalami maknanya. Kendala saya adalah, banyak sekali tafsiran mengenai kandungan ayat dalam Al-Qur’an sehingga saya mencoba untuk mendalami cerita di balik turunnya ayat tersebut. Untungnya ada buku mengenai itu sehingga saya tidak susah payah mencari semua cerita di balik setiap ayat. Selama saya dalam masa ini, saya ingin mulai mempelajari esensi agama sedikit demi sedikit dari awal lagi. Merasakan perjalanan spiritual melalui jalan saya. Bagi saya melepas jilbab yang saya lakukan sekarang memberikan pengalaman tersendiri bagi saya. Menjadi lebih diri sendiri, mengetahui bagaimana orang sekitar saya, mengasah mental, menghargai orang lain yang –jelas berbeda dengan saya, dsb. Saya tidak berharap semua orang menyukai saya, karena saya pernah menjadi salah seorang yang kurang menyukai seorang yang melepas jilbab. Saya hanya berharap kita, tetutama saya benar sadar dengan pilihan yang diambil (memakai atau melepas jilbab) dan menghormati pilihan orang. Hanya karena pilihan orang berbeda dengan kita bukan berarti dia salah. Kita harus mengetahui alasan dibaliknya terlebih dahulu lalu melakukan penilaian, dengan begitu diharapkan dapat saling memahami. Jika seorang hanya melihat permukaan suatu isu tanpa melihat lebih dalam hanya menimbulkan kesalahpahaman dan bisa jadi perpecahan.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorPanggilannya Bella, seorang yang......begitulah Archives
September 2018
Categories
|