Let's exchange and have some discussion in the comment box!
Pernah tidak merasa jiwa kita sepertinya tersesat. Berputar-putar dalam labirin, entah itu labirin kebimbangan dalam menimbang-nimbang keputusan, labirin kesedihan, ataupun labirin lainnya. Ataupun terasa seperti jatuh ke dalam lubang hitam yang tidak tahu kapan kita akan jatuh. Umur saya baru 22 tahun tetapi rasanya seperti sudah menghadapi quarter life crisis. Yah, meskipun saya tidak tahu seperempat umur saya berada di umur yang ke berapa, namun yang saya tahu saya mengalami ini setelah resign dari pekerjaan pertama atau mungkin saat hendak wisuda. Saya menganalogikan hidup setelah lulus dari dunia persekolahan itu seperti berlayar di lautan yang luas. Kalau kita tidak tahu tujuan kita hanya akan menetap di satu tempat, tapi kalau sudah menetapkan tujuanpun kita terkadang akan dihadang oleh suatu hal seperti cuaca buruk. Mengubah arah atau diterjang. Jangan lupakan juga soal pilihan kita, jika menerjang bisa jadi kapal rusak tetapi kita akan bisa mencapai tujuan dengan cepat. Jika mengubah arah kita harus bersiap apakah persediaan di kapal cukup untuk mencapai tujuan kita. Kita tidak tahu pasti hasil yang seperti apa yang akan kita dapatkan, tetapi kita harus tegas membuat pilihan. Krisis pertama yang saya hadapi adalah krisis identitas, khususnya jilbab sebagai identitas saya. Soal ini saya jelaskan di postingan sebelumnya. Krisis pertama tidaklah begitu rumit karena ada buku maupun cerita dari orang-orang yang dapat menambah informasi dan menjadi acuan saya. Keputusan yang saya ambil memang menakutkan karena akan banyak yang menghujat, orang tua juga bisa saja kecewa tetapi dari situ saya menjadi lebih tahu siapa yang sebenarnya peduli dengan saya. Krisis selanjutnya yang saya hadapi adalah toxic relationships. Toxic relationships adalah hubungan yang tidak menyenangkan bagi diri sendiri atau orang lain. Kami berusaha untuk mengungkapkannya dan menginginkan sebuah solusi agar hubungan menjadi 'menyenangkan' kembali tetapi sepertinya belum berhasil. Saya menemukan hubungan seperti ini di tempat kerja juga. Saya tidak dapat speak up dan membiarkan diri saya tertelan oleh mereka. Pada akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari tempat itu dan menghapus kontak mereka. Mungkin ada yang mengatakan keputusan saya kurang bijak, tetapi saya ingin mengatakan kepada diri saya sendiri dan kepada kalian bahwa "saya tidak ingin menyiksa diri saya lebih lama lagi disana". Kalaupun saya tersiksa untuk hal yang bagus (seperti mengembangkan diri) sepertinya masih dapat menjadi pertimbangan agar saya tetap di sana. Kemudian setelah keluar dari tempat itu, krisis yang lebih parah dari dua krisis tersebut menimpa saya. Awal resign tentu saya bahagia sekali. Mendapatkan kebebasan, tetapi kebahagiaan dan kebebasan itu tidak berlangsung lama. Krisis yang lebih parah tersebut adalah krisis eksistensi diri. Apa tujuan saya hidup? Apakah untuk mendapatkan uang? Mengapa saya harus berjuang? Kalaupun harus berjuang, perjuangan macam apa yang ingin saya lakukan? Apa sebenarnya passion saya? Jika krisis pertama dapat saya atasi begitu juga dengan krisis kedua, krisis yang ketiga susah saya hadapi karena krisis ketiga ini mengenai diri saya sendiri. Tidak akan ada yang dapat mengetahui saya sebaik saya sendiri, itulah tantangan di krisis ini. Pada krisis ini, saya mempertanyakan arah karir dan pendidikan saya. Setelah bekerja di bidang Korea, saya menjadi paham sebarapa skill interpreting saya. Jauh dari yang diharapkan. Apakah saya mau mencoba lagi atau mencari passion saya yang sesungguhnya? Tetapi, tidak ada jaminan juga kalau saya ahli di passion saya. Tidak ada jaminan yang saya jalani tidak akan menimbulkan rasa sakit. Contohnya, adalah online shop yang saya jalankan, manajemen mungkin passion saya dan saya sangat yakin jika saya tekun saya bisa mendapatkan banyak uang melalui usaha ini. Ada perasaan bahagia juga ketika saya sudah mendapatkan beberapa dropshiper langganan, rasanya seperti membukakan pintu rezeki untuk orang lain. Akan tetapi, ada rasa sakit juga yang saya rasakan ketika menjalani ini. Pandangan orang lain dan saya merasa tidak dapat mengembangkan diri secara maksimal karena terlalu berkutat dengan handphone. Oleh karena itu, saya mencoba untuk mendaftar kerja lagi sebagai interpreter Korea. Ketika dipanggil interview, saya merasakan keraguan datang. Saya ragu pilihan yang saya ambil apakah murni dari diri sendiri atau adakah pengaruh dari orang lain. Selain itu saya takut, takut tidak cukup baik tetapi mau tidak mau tentu saya hadir meskipun hasilnya juga mengecewakan bagi saya. Namun, yang mengejutkan adalah perusahaan tersebut menghubungi dan menawari saya pekerjaan. Saya diminta memutuskan apakah bersedia bergabung apa tidak. Tentu saya bingung karena saya meragukan diri saya, tapi saya berpikir, "10 tahun lagi ketika saya memandang kembali umur 20-an saya apakah saya akan merasa puas dengan diri sendiri?". Akhirnya saya terima tawaran tersebut dengan harapan dapat berkembang. Soal quarter life crisis ini memang bukan perkara mudah, apa yang saya ceritakan hanyalah permukaannya saja. Apa yang saya alami lebih dalam dari itu. Banyak pergulatan batin, bahkan sampai saya tidak kuat dan ingin menyerah. Apalagi di zaman dimana sosial media juga merupakan bagian hidup. Seringkali kita melihat kebahagaiaan dan pencapaian orang lain, padahal kita juga tidak tahu kisah dibelakangnya. Rumput tetangga memang seringkali terlihat lebih hijau, ya. Saat-saat seperti itu, peran teman dan orang terdekat sangat dibutuhkan untuk memberikan energi positif. Orang lain memang tidak akan paham atau tahu apa yang kita rasakan atau inginkan, tetapi setidaknya dengan berbagi cerita dan memberikan peran kepada orang lain, kehadiran mereka dapat membantu kita memberikan energi positif dan mengingatkan kita kalau kehadiran kita juga berarti di hidup mereka. Ada hal yang membuat saya terkejut ketika saya berbagi cerita dengan teman saya, mereka juga sedang mengalaminya. Mengalami krisis ini sesuai versi mereka, bertarung dengan diri mereka maupun hal lain. Asumsi saya, krisis ini seperti bentuk kekagetan kita setelah lulus dari sekolah. Ketika kita bersekolah kita sudah terbiasa mengikuti sistem yang sudah ada, tentu saja ketika bersekolah ada beberapa pilihan yang ditawarkan. Contohnya, ekstrakurikuler yang ingin diambil dan jurusan yang ingin diambil, maupun pilihan lainnya. Selain itu, kita hanya mengikuti sistem dari sekolah, yaitu belajar untuk nilai bagus kemudian dipakai untuk persyaratan kerja maupun sekolah lagi. Kemudian, ketika kita sudah lulus pilihan yang ada di hadapan kita sungguh banyak. Banyak nan membingungkan. Selain itu, tentu saja akan ada konsekuensi dari pilihan kita. Ketika memilih pilihan di sekolah sebenarnya ada konsekuensi juga, contohnya mengikuti OSIS lalu waktu belajar kurang yang berakibat nilai menurun. Nilai memang penting ketika sekolah, jadi ketika kita mendapatkan konsekuensi tersebut orangtua maupun guru BP akan membantu kita untuk 'masuk' jalur lagi. Namun, ketika kita menghadapi konsekuensi di umur 20-an ini kita menghadapinya sendiri. Sendiri karena ini sungguh kompleks, kita sendiri yang mengetahui keinginan kita. Karena takut akan konsekuensi, kita cenderung suka untuk berdiam di tempat aman. Tidak apa jika memang sudah merasa tepat. Tetapi akan menjadi krisis lain jika merasa belum tepat. Discover yourself and create! Ketahuilah dirimu sendiri dan ciptakan jalanmu! Rumput tetangga memang seringkali terlihat lebih hijau tapi apakah halaman rumahmu ingin kamu isi dengan rumput? Jangan lupa bernafas sejenak, luangkan waktumu sejenak untuk istirahat. * Saya merekomendasikan lagu dari band dan penyanyi kesukaan saya, One Ok Rock ft. Avril Lavigne - Listen. Lagu ini menceritakan soal perjuangan seseorang dalam menghadapi bunuh diri dan depresi, One Ok Rock ingin orang tersebut untuk segera bangkit dan menyerah dengan hidup.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorPanggilannya Bella, seorang yang......begitulah Archives
September 2018
Categories
|