Let's exchange and have some discussion in the comment box!
Tulisan ini adalah jawaban Saya terhadap pertanyaan dari sebuah buku berjudul "Baca Buku Ini Saat Engkau Merasa Lelah". "Eh tau gak, kemarin liburan kan aku sama keluarga ke kebun binatang. Parah banget, adek dan ayah aku kena pup nya kuda nil!". Teman saya menceritakan kejadian itu sambil tertawa-tawa, saya pun juga ikut tertawa namun ada perasaan iri yang menyelip. Saya iri karena dia sangat dekat dengan keluarganya. Keluarga saya memang tidak pecah, tidak pula ada kekerasan namun keluarga saya sangat kurang sekali dalam hal berkomunikasi. Saya dari kecil tidak terbiasa untuk mengungkapkan perasaan maupun bercerita kepada Ibu maupun bapak saya. Oh tidak, pernah suatu waktu saya bercerita betapa senangnya saya mendapatkan kawan sewaktu TK kepada Ibu saya namun responnya biasa saja. Saya tipikal anak yang pemalu sehingga susah untuk mendapat teman. Sewaktu kecil, saya sering kali dititipkan kepada pengasuh maupun bibi saya karena Ibu harus bekerja di kota lain. Bapak saya juga kurang mengerti bagaimana merawat anak waktu itu, karena saya anak pertama. Saya merasa tidak puas dengan hubungan saya dan keluarga saya. Sama sekali tidak puas. Orangtua saya, terutama Ibu memiliki ekspektasi yang tinggi untuk saya dan adik-adik saya. Ibu saya berusaha menempatkan saya dan adik-adik di sekolah unggulan. Jika kami memiliki kesulitan belajar, kami akan dicarikan tutor ataupun dimasukkan ke bimbingan belajar. Nyatanya, ketika saya mengikuti bimbingan belajarpun saya tidak merasakan ada bedanya karena hanya masuk kelas dan melamun saja. Fisik saya lelah. Saya tidak memiliki ambisi maupun gairah hidup. Mati tak bisa, hidup pun tak mau. Bagi saya hidup saya sudah ditentukan. Lulus SD nanti masuk SMP 1, lalu ke SMA 1, lalu kuliah di universitas negeri. Semenjak SD kelas 3 perasaan emosi saya mati. Teman sekelas saya membuat lelucon pun saya tidak tertawa, bahkan rasanya saya tidak punya teman waktu SD. Pernah punya tapi semenjak 3 SD tidak lagi. Tidak ada konflik, hanya saja mungkin saya yang terlalu menutup diri. Saya tidak paham apa itu bahagia maupun sedih. Sukses atau gagal. Bangga atau kecewa. Saya baru mulai merasakan emosi semacam itu ketika kuliah, ketika saya mencoba menjadi pribadi yang terbuka. Namun, ada juga emosi yang saya buat-buat seperti perasaan simpati maupun empati.
Sudah menjadi kegiatan rutin saya ketika libur pasti hanya mengunci diri di kamar. Entah untuk membaca buku atau bermain HP atau bahkan tidur sepanjang hari. Tentu saja Ibu sering marah melihat saya begitu, jadi ingin sekali rasanya pergi dari rumah dan menjalani hidup sendiri. Itulah kenapa saya jarang sekali pulang ke rumah. Pernah suatu waktu ketika libur panjang menjelang memasuki perkuliahan, Ibu saya jengah melihat saya yang selalu mengunci diri di kamar. Ibu saya marah, lalu saya balik marah karena tidak paham kenapa ibu sebegitu marah dan jengahnya dengan saya. Saya bilang tidak ada alasan bagi saya keluar kamar. Ibu saya bertanya kenapa begitu, dan saya tidak bisa menjawab. Otak saya tidak dapat memproses jawaban yang tepat, akhirnya sambil menahan tangis kalimat "aku benci diriku sendiri", keluar dari mulut saya. Ya, saya sangat membenci diri saya. Kenapa saya malas sekali, kenapa saya tertutup sekali dan tidak mau bergaul dengan orang lain, kenapa saya seringkali keluar jerawatnya, dan sebagainya. Ibu saya berjanji membawa saya ke psikolog namun sampai sekarang kami belum bertemu psikolog itu. Seingat saya, waktu kecil ulang tahun saya sering dirayakan oleh orang tua. Bukan acara tiup lilin, namun sebuah hadiah. Saya juga sering mendapat apa yang diinginkan ketika meminta sesuatu. Namun, sepertinya saya hanya mendapat cinta dalam wujud benda saja. Cinta dalam bentuk kehangatan kasih sayang kurang saya dapatkan. Saya tahu, ibu dan bapak saya bekerja keras untuk memberikan yang terbaik bagi saya tetapi kenapa saya tidak bisa memahaminya? Saya tahu, ibu dan bapak saya khawatir setengah mati ketika saya sampai masuk rumah sakit berkali-kali tetapi kenapa saya tidak bisa merasakannya? Terkadang muncul pikiran, betapa durhakanya saya menjadi seorang anak. Ego saya terlalu tinggi hanya untuk menanyakan kabar mereka. Topik keluarga sebenarnya adalah topik yang sangat sensitif bagi saya. Sebenarnya memang, jika dibandingkan keluarga lain yang memiliki masalah seperti KDRT dan sebagainya itu tidak seberapa. Namun kondisi mental setiap orang dalam menghadapi sesuatu tidak bisa kita sama ratakan bukan? Kita tidak bisa mengubah orang lain, sama seperti kita tidak bisa mengubah masa lalu orang lain. Mungkin saja pengasuhan orang tua saya dipengaruhi dari masa kecilnya juga. Saya mungkin sering mengalami krisis kehidupan karena psikis saya yang kurang kuat, namun saya -seharusnya- bisa mengubahnya. Alasan saya menuliskan kisah ini hanya sekedar untuk berbagi sekaligus catatan pengingat bagi saya, bukan untuk menjelekkan orang tua saya. Fungsi keluarga adalah memberikan pengasuhan mental yang baik agar anaknya mampu menggunakan pikirannya untuk menjalani hidupnya sendiri. Saya merasakan diri saya terlalu dikontrol dan hanya sebagai robot dari orang tua.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorPanggilannya Bella, seorang yang......begitulah Archives
September 2018
Categories
|